Thailand: Perjuangan berakhir geli demi buah tangan
Seperti biasanya kami terbangun ketika hari sudah terang dan sekitar
hostel masih sepi-sepi saja tuh. Matahari di Thailand khususnya Bangkok serba
lambat, baik terbit maupun tenggelam. Aurel dan Muna aja Shalat Subuhnya sekitar
pukul 06.00 gitu. Salah satu alasan
kami bangun selalu kesiangan ya karena nunggu si matahari, pukul 06.00 aja
masih agak gelap jadi memaksa kami tidur lagi.
Waktu nyawa udah terkumpul semua, aku bertanya sama yang lain hari ini
kemana ternyata belum diputuskan tempat ngebolang selanjutnya, rupanya tadi
malam pas aku pamit tidur, mereka juga nyusul tidur, wkwkwkkwk. Baiklah kami
menghabiskan waktu sekitar 1 jam berdiskusi tak terarah untuk menentukan tempat
selanjutnya, awalnya kami mau memanfaatkan tiket gratis dari pembelian tiket
Grand Palace (cerita keliling Grand Palace DISINI) kemarin tapi kami urungkan karena tempatnya terlalu jauh dan
diluar Bangkok jadi jarang ada sarana umum yang bisa ditumpangi kesana. Oiya,
tiket Grand Palace itu include tiket gratis ke tempat wisata
lain loh, waktu itu kami dapat tiket gratis ke Bang Pain yaitu istana musim
panas Raja, dari fotonya sih yahuutt tapi gak ah soalnya dari blog-blog banyak
yang menyarankan sewa mobil kesana, duh budget
traveler kayak kami mana mampu nyewa mobil, hiks
Hasil dari baca-baca blog orang dan liat-liat foto kece orang di mbah
google, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke Wat Saket alias Golden Mount. Lokasinya mudah dijangkau, sesuai dengan petunjuk
google map, tempat tersebut ada di dekat Grand Palace artinya kami cukup naik
bus nomor dua seperti kemarin, palu sudah diketuk lalu kami beranjak dari kasur
untuk bersiap memulai kisah hari ini.
Selama di Thailand, kami sudah terbiasa jalan kaki dari hostel menuju
Stasiun On Nut. Namanya orang Indonesia ya, kalau belum sarapan ya gelisah jadi
kami putuskan untuk makan di warung sea food pinggir jalan yang sering kami lalui, tapi entah kenapa kami
tergoda dengan aroma ayam goreng dari pedagang gerobak yang mangkal depan 7eleven. Berhubung
murah jadi kami beli 1 orang 1 ayam, bapaknya juga menawarkan nasi ketan tapi
kami hanya membeli lauknya aja
karena berniat makan di warung sea food. Tapi warung sea food yang kami maksud
sudah tutup, yaa inilah contoh kesekian kalinya pepatah rezeki dipatok ayam,
awas kamu ayam kumakan saudaramu! Untungnya di dekat warung tersebut ada 7eleven yang
berikutnya, lalu kami sepakat membeli nasi saja disana jadilah hari itu
sarapan kami dirapel dengan makan siang di pinggir jalan perhentian bus dengan
menu nasi dan ayam gosong (warnanya agak gelap tapi gak gosong kok) yang
ueeenaaakkk.
Kami memilih kembali Naik bus reguler nomor 2 sampai monumen
demokrasi, walaupun bus yang ditumpangi benar tapi kami kelewatan turun.
Harusnya kami turun di perhentian bus yang kedua sebelum monumen, yaa gak
apa-apa lah itung-itung olahraga yaa. Dalam pikiranku, Golden Mount terletak di
pinggir sungai atau di tengah hutan atau bahkan di atas bukit, ternyata salah
besar, Golden Mount terletak tak jauh dari Monumen Democracy dan berada di
tengah kota, lhak kok judulnya mount kataku sambil tertawa kecil. Rupanya dalam
komplek Wat Saket memang terdapat kuil yang terletak seolah-olah di atas bukit,
kok seolah-olah sih? ya karena bukit tersebut merupakan bukit buatan yang
curam, tapi walaupun begitu aku kurang yakin itu bukit buatan karena memang terlihat
seperti bukit alami. Demi mencapai kuil utama, kita harus melewati anak-anak
tangga sebanyak 344 anak tangga tapi kami bukannya langsung naik malah duduk
santai di kursi depan pembelian tiket, duh tempat tersebut sungguh menyajikan
kesejukan di tengah panas yang membara dengan embun tipis buatan yang membuat
suasana hati jadi tentram. Setelah cukup yakin, kami pun mulai berjalan meniti
anak tangga, rupanya tidak semelelahkan yang kami kira, di setiap titik ada
hal-hal yang menarik sehingga menaiki anak tangga tersebut menjadi seru dan
otak pun melupakan syaraf lelah di kaki. Kalau boleh jujur, menurutku Wat Saket
menarik daripada Grand Palace, mungkin karena tiketnya yang murah dan tempatnya
yang sejuk sehingga tidak jenuh. Semakin dekat puncak kuil terdengar bunyi
denting lonceng yang digoyangkan angin, semakin dekat ada banyak barisan
lonceng serta gong besar yang biasanya dipukul sebanyak 3 kali sambil
mengucapkan harapan. Setelah sampai pada bangunan teratas, kita akan menemukan
altar untuk sembahyang umat Buddha, jangan sampai menggangu ya. Pada bagian
sebelah kanan ada terdapat tangga kecil untuk menuju lantai teratas dimana
Golden Mount berada yaitu stupa emas yang terletak di atap kuil.
Tempat sejuk dengan embun buatan |
Gerbang sebelum meniti tangga ke kuil utama |
Suasana di dalam kuil Wat Saket |
Pemandangan dari atas membayar ratusan langkah menuju puncak, kita bisa melihat panorama 360 derajat Kota Bangkok termasuk Grand Palace dan Wat Arun, sambil mendengar bunyi gong yang dipukul pengunjung, lonceng yang berdenting merdu berkolaborasi dengan doa-doa yang dilantunkan para Biksu dari pengeras suara lantai bawah. Wah, sungguh tempat ini menyenangkan hati selain menawarkan pemandangan Kota Bangkok, tempat ini tidak seramai di temple-temple lainnya, mungkin karena hari masih siang atau memang wisatawan kurang mengetahui tempat ini (tapi gak mungkin ah). Saat turun dari kuil, Muna kembali menghitung uang sakunya dan galau dengan sisa uangnya karena dirasanya kurang, di antar kami memang dia lah yang paling banyak dititipin. Untungnya di dekat tempat pembelian tiket ada ATM lalu kami kegirangan padahal yang mau ambil duit cuma satu tapi yang masuk ATM sekaligus bertiga, kami kepo gimana caranya narik duit pada mesin ATM luar negeri, whehehehe
Lonceng yang berdenting merdu |
Golden Mount, stupa emas yang terletak di atap kuil |
Hari sudah mulai sore dan cacing di perut mulai meminta asupan gizi,
jadilah kami sepakat pergi ke Khaosan Road untuk berburu makan malam, katanya
sit tempat ini adalah tempat populer wisatawan dan banyak kuliner murah,
cihuuuyyyy berita bagus! Khaosan Road tidak jauh dari Wat Saket, kami cukup
berjalan kaki sekitar 15 menit saja sudah tiba di lokasi pasar malam tersebut. Rupanya
semacam pasar tungging kalau orang Kalsel bilang, ada banyak pedagang makanan
dan pakaian, ada juga penjual gorengan ektrem yaitu gorengan serangga tapi
kalau mengambil foto harus memberikan fee kepada pedangangnya, beberapa
pedagang bahkan menempel tulisan NO KAMERA yang artinya tidak boleh mengambil
gambar maupun video. Banyak pula tempat-tempat pijat, coba kalau banyak duit
kami udah mampir tuh kebetulan kaki berasa mau copot tapi apalah daya kami
hanya sekelompok budget traveler, kami hanya mampu menatap nanar pada turis
yang tertidur sambil dipijit (ih kok dramatis begini si?).
Berhubung kami belum membeli sejumput buah tangan untuk dibawa pulang,
maka kami berniat mencari di sekitar Khaosan saja tapi tidak satupun yang kami
cari didapat padahal kira-kira 30 menit kami
sudah berkeliling di pasar malam tersebut. Muna yang sudah menarik uang
saat di Wat Saket merasa agak kecewa, akhirnya kami putuskan untuk kembali
pergi ke China Town, awalnya mau pergi ke pasar malam lainnya atau MBK namun
kami urungkan karena takut tidak sesuai dengan yang tertulis di blog. Buktinya
Khaosan Road tidak semurah dalam bayanganku, tempat ini banyak kafe dan bar
serta tempat makan pinggiran. Semakin malam semakin ramai, dentuman musik
saling bersahutan, duh gak kebayang tinggal disini pasti susah tidur. Walaupun
katanya banyak hostel maupun hotel murah di tempat ini tapi sepertinya aku
tidak berminat, hmmmm.
Kami berjalan kembali ke
sekitar democracy monument, sebenarnya kami pun tidak mengerti China Town di
sebelah mana. Berhubung hari makin malam jadi kami putuskan untuk naik uber,
konyolnya yaa saat ini segelintir budget traveler ini mau-maunya jalan kaki
mondar-mandir lalu menyebrangi jalan demi nominal biaya ubernya berkurang tapi
bukannya murah malah jadi makin mahal, halaaah dasar sial padahal udah capek
jalan. Kami sudah mahir di China Town jadi capcus aja langsung jalan menyusuri
jalan raya dan masuk ke toko-toko yang menjual oleh-oleh makanan khas Thailand,
udah beberapa hari di Thailand membuat kami mahir berbahasa isyarat dan hal ini
mempermudah kami bertansaksi bahkan berani nawar, kalau kubilang sih China Town
lebih murah dibanding Khaosan Road. Setelah mendapatkan sejumput buah tangan,
kami berjalan mencari tempat perhentian bus. Udah pinter jadi gak pake salah
naik bus, kami naik bus AC bernomor 25 (kalau gak salah, maap agak lupa, hehe)
karena khawatir bus reguler nomor 4 tidak muncul sebab waktu itu sudah cukup
malam, walaupun ber-AC tapi ongkosnya masih murah kok, lalu kami lanjut naik
BTS dari Stasiun Siam.
Bangunan sekitar Monumen Democracy yang klasik |
Karena hari terakhir dan uang semakin menipis, apalagi tadi habis
belanja oleh-oleh jadi demi bisa pulang besok, kami sepakat jalan kaki dari
stasiun ke hostel. Kami jalan kaki selama 30 menitan, gempor daah sepanjang
hari ini olahraga dari siang sampai malam. Perjalanan kami menuju hostel cukup
lancar sampai kami ketemu sosok laki-laki terduga kurang waras (soalnya tidak
memastikan keburu lari), aku dan Aurel yang pertama kali melihat, orang
tersebut rambutnya acak-acakan, tidak menggunakan baju dan sedang jalan sempoyongan.
Kami lari sejadi-jadinya sampai depan gereja, bahkan kami hampir putus asa
dalam program ngirit pada malam ini, sempat berpikir memesan uber saja. Untung
Tuhan Maha Baik, kami bertemu mas-mas yang baru datang sedang memarkir mobilnya
kemudian dia memberikan kode untuk mengikuti dia dan mempersilahkan kami
berjalan sambil dipantaunya dari jauh, duh mas-mas tersebut tingkat
kegantengannya naik jadi 1000%, dia penyelamat kami, hampir saja uang kami
hilang beberapa bath akibat kami tidak berani jalan terus, kalau ngelawan orang
kurang waras sama aja kita gak waras walaupun masih terduga yaa.
Akhirnya kami tiba di kamar dengan ngos-ngosan dan menertawakan adegan
lari-lari tadi, ngirit demi bisa membawa sejumput buah tangan, nasib budget traveler!
Daun doa para pengunjung yang di gantungkan di Wat Saket |
Jam operasional:
Wat Saket : Setiap hari pukul 08.00 - 19.00 waktu setempat
*Berdasarkan pengalaman pada Januari 2018
Komentar