Hayup; Pedesaan di tengah perkebunan sawit

Mis-communication memang bukan hal yang baik. Hari itu aku masih santai-santai saja karena info yang kudapat Romo akan berangkat pukul 18.00 wita. Agenda kunjungan kali ini adalah Hayup, ya aku baru pertama kali mendengar tempat itu. Setibanya di gereja pukul 17.50 wita, sejauh mata memandang tak ada satu pun orang, telingaku pun tidak menangkap suara siapa pun, singkatnya di sana sangat sepi. Rupanya kami tertinggal, Romo sudah berangkat pukul 17.00 wita karena tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan pulang ke rumah tanpa cerita, kami pun memutar otak untuk bisa tetap pergi. Setelah banyak berdebat akhirnya kami pun berangkat pukul 18.30 wita, kawan-kawan di seberang telepon sudah sangat berisik karena kami tak kunjung datang sedangkan misa mulai pukul 19.00 wita dan perjalanan Tanjung - Hayup membutuhkan waktu paling sedikit 45 menit. Berita buruknya adalah 4 orang yang berangkat ini tidak mengenal Hayup, modal nekat kami tetap jalan berharap kawan di sana menunggu dan bersedia menjadi peta kami. Temanku memacu mobil secepat mungkin agar sekilat mungkin tiba di Hayup.

Kuliat jam di handphone-ku angkanya tertulis 19.25 akhirnya kami tiba di stasi yang baru diresmikan pada 25 Desember 2013 lalu. Setelah keluar dari mobil kuedarkan mataku, pemandangan pertama rumah-rumah tersusun rapi lalu kuedarkan kembali mataku tapi tidak kutemukan lokasi misa, seorang kawan menepuk pundakku dan mengajakku ke jalan kecil di sebelah kiriku. Rupanya jalan kecil itulah yang mengantarkan rombongan terlambat ini ke Kapela Hayup. Kapela sederhana berkarpet hijau itu terlihat sesak oleh umat Hayup, walaupun aku berada di luar Kapel tapi khusuk-nya misa masih bisa tertangkap oleh asaku, pengalaman spiritual yang tak terlupakan.


Diskusi dengan orang muda Katolik Stasi Hayup


Foto bersama dengan orang muda Katolik Stasi Hayup

Pada akhir misa tanpa disangka, Romo menyebut KOMKA dan mempersilakan perwakilan dari kami menyampaikan tujuan kami menyusul Romo ke Hayup. Ya, memang hari itu kami berkunjung ke Hayup untuk bertemu dengan orang muda Hayup. Setelah selesai berkat, kami pun berkumpul dengan anak muda Hayup yang mayoritas SMP. Awal perkenalan nampak malu-malu, masih enggan bersuara lantang menyebutkan nama. Semakin larut suasana makin hangat, mulai akrab dan sesekali spontan keluar guyunan serta tawa lepas. Sebelum pulang kami mampir ke rumah ketua umat, kemudian melanjutkan perbincangan. Tak terasa waktu berusaha mengusir kami, pukul 22.00 wita kami  pamit pulang, bersalaman satu-persatu. Kuharap ini bukan pertama dan terakhir aku menginjakkan kakiku di Hayup.


Perjalanan pulang, kami mengambil rute lain. Rute itu lah aku melihat ciri khas dari desa ini, rupanya desa ini dikelilingi oleh sawit. Sepanjang perjalanan hamparan sawit menyapa kami, dinginnya malam menembus kulitku, mempertegas bahwa oksigen melimpah di sekitar Desa Hayup, terang saja karena Desa Hayup berada di tengah-tengah perkebunan sawit yang subur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budget Liburan ke Bangkok, Thailand

Parasit pada Ikan yang Mirip tapi Tidak Kembar (Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella)

Serunya masuk dalam novel Laskar Pelangi di Belitung Timur