Flashback : buang STNK di Belitung
Masa pandemi covid-19 membuat gabut, banyak rencana tertunda dan jadwal jalan-jalan yang disusun dengan penuh harapan menjadi buyar. Aku salah satu yang memilih di rumah saja selama tidak penting-penting amat untuk keluar, bosan? Janganlah ditanya, ya pasti suangaattt! Nah caraku mengusir stress selama karantina masa pandemi adalah mengingat cerita perjalanan, tidak jarang aku membuka kumpulan foto di notebook dan menguploadnya di cerita instagram. Malam ini aku tetiba teringat cerita kocak tapi serem hiiyyy. Aku mengontak salah satu teman jalanku waktu itu, lalu mengajaknya mengingat kejadian sekitar dua tahun lalu. Aku yakin temanku mengetik sambil memutar memorinya sambil tertawa, iya emang agak lucu sih kalau diingat lagi.
Seingatku hari mulai sore saat kami memutuskan pulang setelah
berkeliling berburu di Belitung Timur, seperti biasanya mengikuti arahan google
map adalah jalan ninja kami. Sesuai petunjuk google map, jalan menuju bandara
lebih dekat ketimbang kembali mengikuti jalan kami berangkat pagi tadi.
Berhubung sudah lelah dan hari mulai senja serta aku terobsesi dengan Mie
Belitung jadinya kami memilih jalan yang terdekat.
Sepanjang jalan kami bercerita dengan suara yang tidak
terkontrol, memang jalan agak sepi. Hanya sesekali berselisih dengan pengendara
motor, wajar saja soalnya bukan jalan provinsi.
Temanku berkata “Cuy, ini kali pertama aku bawa motor di
atas 100 km/jam”
“Hah? Serius” jawabku sambil tertawa geli
Beberapa meter sebelum jalan tikungan, aku merasa gas
semakin kencang, aku merasakan ada yang salah. Aku kemudian menepuk pundak
temanku, tidak ada respon. Kemudian kulihat kemudi motor agak keliru, motor
diarahkan lurus menuju sungai padahal ini adalah tikungan tajam. Aku terus saja
menepuk pundak dan tangan temanku tiada henti sambil berteriak “Cuy, kamu mau
kemana? Woy, kemana?”
Sepintas dalam otakku mau loncat saja dari motor karena
sudah tidak terkendali, motor melaju kencang ke arah sungai dan pengemudinya yang
sepertinya tidak sadarkan diri. Tapi niat tersebut kuurungkan, aku terus
berteriak semakin nyaring setelah sadar di belakang sana ada bus besar yang
siap melindas kami jika salah haluan. Sekeras apapun aku berteriak, gas tetap
ditarik kuat-kuat, tidak ada sedikit pun kurasa motor akan direm. Setelah motor
jatuh dari badan jalan akhirnya motor berhenti sendiri dan akupun terlempar ke
depan menggilas rerumputan disusul temanku yang dengan mulus jatuh di atas
badanku. Syukurlah, kami selamat dari ancaman lindasan bus besar!
Aku langsung bangun dari rerumputan yang empuk seolah karpet, kutengok temanku memastikan masih utuh atau tidak, lalu kusamperin eh mukanya masih bengong melihat ke arah sungai. Aku merasa ada yang aneh
Aku kembali
berteriak “Cuy, kamu tadi mau kemana? Kenapa?, heh kenapa? Woy, kamu tadi mau
kemana?”, kalimat ini kuulang terus menerus sampai akhirnya sekitar lima
menitan dia sadar dan memeluk kakiku spontan langsung kutendang (monmaap ini
sikap spontanitas karena kaget, wkwkkwkwk).
Waktu kuliat wajah temanku sudah mulai dialiri darah,
pucatnya mulai menghilang, aku duduk di sampingnya lalu bertanya lagi dengan
nada normal “kamu tadi mau kemana, cuy?”
“Tadi ada yang nyebrang” katanya lemas
“Hah, mana ada yang nyebrang, gak ada orang, itu sana
sungai, masa orang mau nyebur ke sungai” jawabku dengan logika manusia yang
otaknya masih bisa dipergunakan
“Kada cuy, tadi aku liat perempuan di jalan raya terus naik
ke atas pake tangga” katanya meyakinkanku
“Heh, mana ada orang naik tangga di jalan raya. Iya kan
bang?” tanyaku ke abang-abang yang menolong kami, sembari di dalam hati berkata
“apaan dah, malaikat naik tangga ngajak ke langit?”
“Iya kak, ada disini, ini tempatnya beda” sahutnya sambil
tersenyum beda ke arahku
Aku langsung melihat ke arah sungai lalu bergidik, “oh oke,
ayoo kita kemana ini, duh anu itu si Wawan mana, motor mana motor, ini kemana
nih, duh Wawan balik dong” aku mulai panik
Akhirnya kami dibawa abang-abang tersebut ke klinik dokter
desa ke arah berbalik, sebelumnya abang yang satu lagi mengecek praktik dokter
masih buka atau tidak, aku lupa jam berapa, yang pasti selepas magrib.
Sepanjang jalan aku bertanya ke abangnya dan dijelaskan memang disana sering
kejadian seperti ini kak.
Syukurlah sebelum tiba di klinik, Wawan putar balik mencari
kami dan mengikuti kami ke klinik. Dia bertanya kenapa, aku pun menjelaskan
secara detil sepanjang jalan. Setelah selesai mengecek luka-luka, aku lecet di
atas bibir (besoknya langsung memble bibirku jadi foto maskeran terus, hiks)
dan kawanku hanya lecet di siku tangannya, kami bercerita dengan penduduk lokal
yang sedang mengantri di klinik. Kata mereka, tempat itu memang selalu begitu
biasanya kalau kecelakaan pasti luka parah bahkan meninggal, adek ini beruntung hanya lecet,
aku merinding mendengar ceritanya, rasanya ingin meminjam pintu kemana saja
Doraemon agar tidak melewati jalan tersebut.
Temanku yang sudah waras pun bercerita dengan rinci, saat
itu ada perempuan yang menyebrang lalu menaiki tangga sambil mengulurkan tangan
seolah-olah mengajak naik, katanya dia berkali-kali berteriak memanggil Wawan
tapi tidak ada satupun yang mendengar. Padahal selama kutepuk mana ada dia
respon, yang ada pita suaraku mau putus kebanyakan teriak, hmmm
Selesai bercerita, kami berpamitan kemudian pulang, aku dan
temanku membunyikan klakson bergantian saat melewati Simpang Kampit Kelapa,
tempat kejadian kami bergulung di pinggir jalan tadi.
Setelah kejadian jatuh itu, kami masih mempunyai hari untuk
berkeliling, selama itu juga aku membawa motor sendiri dan tidak mau dibonceng
oleh temanku yang bisa hilang kesadaran tiba-tiba. Bahkan si penakut ini selalu
tidur dengan lampu menyala selama masih di Belitung padahal aku tidak bisa
tidur dengan lampu menyala, ya gimana horror sih.
Cerita ini pun bersambung setelah temanku pulang duluan ke
kotanya dan aku melanjutkan perjalanan ke Bangka. Pemilik motor menanyakan
surat tanda kendaraan bermotor miliknya, aku bahkan tidak pernah memegang surat
itu selama bermotor, begitu pula temanku. Waktu Wawan bilang “Suratnya ada di
dalam dompet tempat mak-mak naro emas. Dompetnya di dalam jok motor”
Tetiba ingatanku kembali ke peristiwa beberes barang pasca kecelakaan, waktu itu seingatku ada dompet kecil yang dikasih abangnya
ke temanku lalu dia bertanya padaku “Cuy, ini punyamu?”
Karena memang merasa bukan milikku, ya
kujawab tidak lah lalu temanku dengan entengnya bilang “Ih sampah, buang” lalu
dengan ringan tangan melempar dompet itu ke rerumputan
Aku tersadar dari reka ulang kejadian, lalu dengan setengah tertawa, “Wan,
STNK-nya dibuang sama si dodol noh, coba aja tanya dia”
Waktu Wawan bertanya via whatsapp balasannya hanya “wkwkkwkwkkwkwkwk”
Bisa-bisanya kami membuang sampah sembarangan hari itu,
sungguh berdosa kali. Alhasil selain mengganti kerusakan motor akibat berbentur
dengan aspal, kami juga mengganti biaya pengurusan pembuatan STNK baru. Sepulang dari Bangka dan kembali ngantor, kami hanya bisa menertawakan tragedi pembuangan
STNK yang super konyol itu, bahkan sambil mengetik ini pun aku menertawakan
diri sendiri.
Tiada lepas dari masker menyembunyikan kememblean bibir pasca kejadian |
Komentar