Berdagang di kampung flores-nya Tabalong
KOMKA
Paroki yang baru seumur jagung, Pengurus berasal dari stasi Surian, Warukin,
Nawen, Upau, Tanjung, Rungun, serta Kembang Kuning dengan karakter yang
berbeda-beda namun hal tersebut memberikan warna berbeda, semangat kami? Jangan
ditanya, semangat kami 100% Indonesia.
Hal ini
terbukti saat kegiatan mencari dana di Surian, walaupun stasi sangat jauh-jauh
tapi tidak menghalangi langkah kawan-kawan pergi ke Surian. Kegiatan dimulai
pukul 14.00 wita sampai malam hari pukul 21.00 wita kami makan bersama. Hal
pertama yang kurasakan adalah kekeluargaan dan kesederhanaan Surian, tidak
pernah bosan menjamu kami. Padahal kami bukan tamu tetapi mereka menyiapkan
segalanya dengan sangat rapi, seolah kami raja dan ratu. Aku salut dengan
kesederhanaan kalian dalam melayani. Malam pun memaksa kami untuk pulang ke
rumah masing-masing sampai pagi pun menggelitik untuk memaksa bangun. Misa di
Surian pukul 07.00 wita jadi mau tidak mau, kami yang dari Tanjung harus
berangkat pagi agar tidak melewatkan misa. Setiba di Surian, sekelompok anak
muda hitam manis sudah berkumpul menjaga “calon dagangan kami” agar tidak
digondol anjing. Sedangkan aku menyipitkan mata karena masih digoda oleh
ngantuk.
Jam
menunjukkan pukul 07.00 wita, kami bergegas memasuki gereja Surian yang
terlihat sederhana namun mewah saat berada di dalamnya. Gereja dengan arsitek
setengah outdoor, aku tidak asing dengan gereja ini karena awal diberkati
akulah yang jadi misdinarnya. Saat misa beberapa hal mengusik fokusku, koor
hanya terdiri dari 6 wanita tetapi suara mereka dahsyat memaksa mengantukku
lari dari mataku. Suara mereka luar biasa, warga surian memang terkenal dengan
suara emas mereka. Ketika tiba saatnya komuni, aku terhenyak dengan kalimat
“walaupun kita tidak menerima komuni saat ini, namun kita tetap harus ber
sukacita sama seperti umat Tanjung yang saat ini sedang menerima “tubuh
Kristus””. Kalimat tersebut sukses diresapi oleh sel otakku, kita yang setiap
minggu menerima komuni sedangkan mereka di sini jarang, mungkin sebulan sekali
atau dua bulan sekali. Patutlah kita bersyukur.
Seusai misa kami bergegas menuju aula sederhana
berisi “calon dagangan kami”, secepat kilat membungkus dengan mika. Baru
memulai membungkus, pembeli sudah datang dan memesan, Puji Tuhan. Sebelum
berdagang, kami makan siang bersama, kembali dibalut kesederhanaan yang penuh
dengan nuansa kekeluargaan. Jam menunjukkan pukul 10.00 wita, kami pun beraksi.
Pedagang kece dengan motor pribadi masing-masing, tapi nampaknya tidak seperti
pedagang tapi pawai. Berkeliling kampung flores dipayungi terik matahari, rupanya
KOMKA Paroki berbakat jadi sales, dagangan perlahan lepas dari tangan kami.
Sepertinya panas matahari kalah panas dengan semangat kami di hari itu :-)
Komentar
hehehe... :D