Upacara memberi makan Arwah Leluhur di Danau Kelimutu

Dengan perjalanan super santai sambil sesekali mampir untuk sekedar mengambil foto akhirnya kira-kira 20 menit kami tiba di gerbang utama Gunung Kelimutu. Rupanya rombongan bupati belum datang jadi acara adat belum dimulai, kami kemudian tidak langsung naik karena melihat banyak orang yang menunggu di warung sebelum gerbang. Sedang asik berfoto dengan latar gunung berkabut, mama pemilik warung datang menawarkan Lawo (pakaian adat Ende Lio, yaitu sarung tenun  untuk perempuan) digunakan saat acara adat, katanya kalau tidak menggunakan lawo tidak boleh sembarangan ikut acara adat, demi menghormati acara adat Ende Lio, kami pun menyewa dengan harga diskon (setelah berpikir panjang dan menguping bule menawar, hehe). Kata mama, mereka kemarin memotong babi dan sapi, nanti kalau acara makan kalian ikut saja kalau menggunakan Lawo boleh ikut makan, tidak apa-apa. Aku dan Fina kemudian saling melempar senyum, hahaha

Bosan berlama-lama menunggu dan bingung dengan adanya motor yang keluar dari dalam, akhirnya kami coba-coba masuk. Berhubung aku baru pertama kali ke Kelimutu jadi aku hanya senyum-senyum saja ke petugas sekitar gerbang, Fina pun demikian dia tersenyum manis bak gula pasir. Setelah sekitar 5 meter melewati gerbang, kami berdua bingung sedang apa wisatawan asing tadi berhenti di dekat gerbang, lalu sepersekian detik kemudian kami sadar, itu adalah loket pembelian karcis masuk, artinya kami tidak bayar karcis masuk ke Kelimutu. Duh, ini jangan dicontoh ya rekan, pokoknya serius ini jangan dicontoh, membayar karcis kan bentuk kontribusi kita merawat tempat wisata, huhu kami ini memang wisatawan tidak peka masa loket karcis aja gak ngeh, hiks

Semakin menanjak, sepertinya semakin suhu semakin turun, aku yang sok jagoan tidak menggunakan jaket sejak tadi pelan-pelan mengambil jaket yang kuikat di pinggang, walaupun begitu tetap saja masih berasa dingin sekali, kabut pun mulai terlihat menambah dingin sampai ke tulang. Ini cobaan bagi Fina yang tidak tahan dengan dingin, walaupun jaketnya tebal dan berlapir tetap saja dia menggigil. Setiba di kawasan gunung, ternyata sangat dingin, kabut tebal dengan suhu sekitar 11 derajat celcius, sungguh aku menggigil padahal waktu itu matahari sudah tinggi tapi tidak sedikit pun hangatnya terasa.

Sekitar lokasi acara adat ternyata banyak mama-mama yang menyewakan Lawo dan Ragi, rupanya benar saja, baik panitia maupun pengunjung memang menggunakan pakaian adat walaupun ada sebagian kecil pengunjung yang enggan menggunakan pakaian adat. Kami kembali menunggu, acara belum dimulai karena bupati belum datang, agak kesel memang ya, seharusnya sejak pukul 07.00 wita tadi acara sudah mulai. Kalau acara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata belum mulai, tidak seorang pun boleh naik saat gong dipukul pertama kali jadi ya kami mengurungkan niat mendaki sedari tadi. Karena konon cerita warga, jika gong sudah dipukul tidak boleh seorang pun berada sekitar Danau Kelimutu, nanti dikira makanan oleh arwah. Tapi kali ini menunggu tidak membosankan karena ada tarian dan musik khas Ende, pengunjung pun menggerumbungi asal suara bak semut mengelilingi gula.

Tarian dengan musik khas Ende yang menarik pengunjung

Beberapa saat kemudian akhirnya rombongan pejabat kabupaten tiba, fuiiih akhirnya kira-kira pukul 09.00 wita acara dimulai, iya molor banyak. Hmmm. Tidak mau ketinggalan moment, aku dan Fina mendekat ke Lopo, sepertinya semacam musyawarah atau sejenisnya, kami tidak satupun yang mengerti karena berbahasa Lio. Setelah selesai dari Lopo, Para Mosalaki (tokoh adat) berbaris membawa persembahan untuk arwah leluhur dan satu mosalaki memukul gong pertanda prosesi meunju batu mezbah (persembahan). Kalian tau? Kami berjalan tepat di belakang rombongan pejabat, hahaha saking gak mau ketinggalan momentnya, pokoknya kami pepet terus rombongan utama agar tidak ada yang mendahului kami, wkwkwkwk

Para Mosalaki membawa persembahan

Oiya, sepanjang perjalanan kita akan melihat monyet-monyet duduk manis di kiri kanan jalan atau dahan pohon. Walaupun mereka manis dan lucu, jangan sesekali memberikan makanan apapun ya, bukan jahat tapi supaya mereka tetap manis, karena kalau terbiasa diberikan makanan oleh pengunjung nanti dikhawatirkan mereka suka merebut benda maupun makanan pengunjung, tentunya tidak baik kan?

Baik, balik lagi ke prosesi adat Pati Ka. Setibanya di batu mezbah, para mosalaki akan mengucapkan doa serta pujian pada leluhur dalam bahasa Lio kemudian dilanjutkan dengan gawi bersama. Setelah selesai gawi bersama, persembahan yang tadi dibawa akan diletakkan di atas batu mezbah. Selama prosesi di batu mezbah, yang tidak berkepentingan tidak boleh ikut di sekitar batu mezbah, hanya boleh diluar kiri-kanan sana. Tapi entah kenapa selesai gawi, ada beberapa turis asing yang diperbolehkan masuk dan melihat dengan sangat dekat, aku sih mau ikut nimbung masuk awalnya tapi kok sepertinya gak adil aja ya, apakah memang pengunjung boleh ikut di sekitar batu mezbah atau perlu ijin sebelumnya, entahlah tidak seorang pun saat itu yang bisa aku tanyai karena emang males nanya karena terlanjur bete.

Selesai prosesi adat, pengunjung diperbolehkan kembali berkeliling di sekitar Danau Kelimutu yang tersohor itu. Selesai menikmati keindahan Gunung Kelimutu dengan danau tiga warnanya, kami buru-buru turun karena melihat jam sebentar lagi acara makan siang bersama, hehe. Tepat saja, waktu kami sudah di lokasi acara tinggal acara hiburan saja lagi. Pengunjung disuguhkan dengan musik khas Ende, music tradisional Ende, tarian-tarian tradisional dan terakhir tari gawi bersama. Lalu inilah saat-saat yang ditunggu, makan bersama, asek, ahahahha

Tari Gawi sebagai penutup acara

Ternyata bukan hanya kami saja yang menunggu makan bersama, sekelompok pengunjung lain juga kok, bahkan dengan setengah berbisik dengan temannya dia bilang “sebentar dulu, nanti ada makan bersama, habis itu kita baru pulang”

Kami pun tidak mau beranjak dari tenda yang kami duduki. Di depan pun dihamparkan terpal besar sebagai alas duduk untuk pengunjung lain bisa duduk untuk makan bersama. Kami tetap tidak mau beranjak dari tenda, penuh harap segera dibagikan daging babi, whehehehe

Lalu seorang bapak mengisyaratkan kami untuk duduk membentuk lingkaran agar mudah makan. sedangkan dihadapan kami, mama-mama sibuk membagikan ikan dan telur dari dalam rantang. Aku mulai bingung, Fina tidak kalah bingungnya. Lalu seorang mama membagikan piring dan sendok untuk kami, sang pengunjung yang menunggu makan gratis. Aku lalu berbisik ke Fina “kok piringnya gak sama kek di foto ya?” lalu gantian Fina berbisik ke telingaku “Kita gak salah tempat kan bu?”

Aku jawab dengan wajah penuh tanya dan mengangkat bahu, kemudian kami diberikan sepiring lauk. Nah lo, ini ayam bukan babi ataupun sapi. Kami saling berpandangan lalu melihat ke tengah lapangan, kok pada bagi tempat rotan disana. Tapi kami masih berpikiran positif, mungkin nanti disini juga dapat. Lah, kemudian mama-mama yang tadi membagikan makanan mempersilahkan kami semua makan, dan memang yang lain sudah mulai makan. tapi kok yang di tengah lapangan belum pada makan si, kok gak kesini bagi tempat rotannya. Yak, kami berdua mulai sadar, nah ini kita numpang makan sama warga yang bawa bekal dari rumah, nah loh kami jadi gak enak. Tapi sudah kepalang tanggung, kami pun turut makan saja sambil tersenyum sok manis. Selesainya kami makan, yang di tengah lapangan berganti pemain, yang sudah makan sudah berdiri menjauh memberikan tempat untuk pengunjung yang belum makan. kami sih sebenarnya mau duduk lagi kesana tapi malu ah, ahahahaha


Pada acara adat ini, makan bersama adalah acara penutup. Para pengunjung diperbolehkan ikut makan bersama dan dijamu dengan baik, bagi yang muslim jangan khawatir semua makanan halal kok. Masyarakat lokat biasanya membawa bekal dari rumah untuk makan bersama di penghujung acara. Seru banget liat kekeluargaan saat acara makan bersama. Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata ini diadakan setiap tanggal 14 Agustus setiap tahunnya

Makan siang bersama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budget Liburan ke Bangkok, Thailand

Parasit pada Ikan yang Mirip tapi Tidak Kembar (Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella)

Serunya masuk dalam novel Laskar Pelangi di Belitung Timur