September lalu kami jalan-jalan dadakan ke Banjarmasin karena bosan ke mall dan kebetulan memang banyak yang masih tutup karena hari itu adalah libur nasional Hari Raya Idul Adha, kami memilih menyusuri bendungan Riam Kanan, kebetulan pula disana ada tempat wisata baru yaitu Matang Kaladan. Sekitar kurang lebih 1 jam kami tiba di Desa Tiwingan Lama, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, walaupun sepanjang perjalanan ada drama takut nyasar tapi dengan berpegang teguh dengan keyakinan, nyasar pun terhindarkan. Haha
Setibanya di Desa Tiwingan Lama, kami agak bingung karena tidak ada petunjuk apapun dimana loket atau gerbang menuju Bukit Matang Kaladan, setelah bolak balik kesana kemari tak tau jalan arah pulang eh maksudnya tidak tau lokasi, kami pun mengeluarkan jurus andalan sesuai dengan pribahasa “malu bertanya sesat di jalan” alias kami bertanya ke warga sekitar. Ternyata Bukit Matang Kaladan ada di seberang sungai, kami harus menyeberang lewat jembatan dulu, petunjuk arahnya sangat kecil dan terletak sedikit tersembunyi sehingga wajar saja kami tidak menemukannya. Setibanya diseberang, kami mencari penjaga loket, mungkin karena saat itu sedang libur hari raya jadi penjaga loket tidak standby di tempatnya. Setelah cukup lama menunggu, seorang pemuda desa pun datang dan menyodorkan buku tamu kepada kami, lalu kemudian membayar Rp. 25.000 untuk 5 orang jadi perorang memberikan uang retribusi sebesar Rp. 5.000 untuk mendaki Bukit Matang Kaladan. Harga ini cukup murah dengan dibayar view yang menyegarkan mata di puncaknya.
 |
Gerbang selamat datang di wisata Puncak Matang Kaladan |
Kami menyusuri jalan dengan bersemangat karena penasaran dengan tempat wisata yang baru dibuka ini. Saat melewati rumah terakhir, seorang bapak menyapa “Mau naik ke puncak kah?”, kami menjawab dengan penuh semangat “Iya, pak”, si bapak pun memberikan semangat “Hati-hati lah, harus sampai, kada boleh turun bila kada sampai di puncak” (hati-hati ya, harus sampai puncak, tidak boleh turun jika belum sampai puncak”. Wah, dalam hatiku pun berbisik, setinggi apa puncak bukit ini, mampus air minum bawa sedikit, sarapan cuma bubur ayam, itu pun belum kenyang, selamat sudah pasti tepar. Baiklah ini bapak tadi malah mendemotivasiku, aku berlebihan? Ya tidak lah, mendaki bukit ini diluar rencana jadi wajar kalau mental belum siap, haha
Trek pertama kami disambut dengan tangga yang terbuat dari kayu, tangga ini menandakan bahwa kami harus mulai menanjak dengan kemiringan kurang lebih 60 derajat. Sekitar 5 menit mendaki semuanya terlihat normal, bahkan keponakan yang kecil semacam kelebihan energi, mendaki sambil lari dan sudah jauh aja dari kami. Kemudian 10 menit berlalu, keponakan yang besar terlihat pucat pasi sambil memegang pundakku ia pun meminta air minum, kakakku jauh tertinggal di bawah sana. Aku pun menunggu mereka, kira-kira 5 menit aku menunggu energi mereka kembali untuk lanjut mendaki, sialnya karena terlalu lama berhenti tadi aku pun tertular ngos-ngosan. Bahkan sumber energi dari bubur ayam tadi pagi sudah habis dan perutku mulai meminta pasokan energi baru, celakalah mana kami tidak satu pun membawa makanan (maklumlah tukang makan sepertiku berasa ditimpa “musibah” serius kalau kelaparan di tengah perjalanan begini). Lalu kami tiba di tempat peristirahatan pertama, si kecil cukup istirahat 5 menit tanpa menunggu dia langsung mendaki lagi. Sedangkan yang besar, rupanya tersulut semangat setelah dimotivasi kalah dengan adiknya, 5 menit kemudian dia menyusul mendaki. Tetapi aku harus sabar menunggu kakakku yang masih mengatur napas, kira-kira 10 menit kemudian baru dia mulai mendaki lagi.
Kuperlambat langkahku agar menyeimbangkan kecepatannya dengan kakakku tapi tetap saja dia masih lebih lambat, aku pun berdiri di sampingnya lalu berlagak mengeluarkan jurus entah apa namanya seperti yang ada di film anime naruto, iyaa ini memang agak sedikit berkhayal tapi serius ini aku lakukan supaya seru aja, haha. Nampaknya cakra tersalur dengan baik (kalau yang ini bercanda kok, aku tidak punya cakra kyubi, wkwk), kakakku pun terus mendaki walaupun napasnya tidak karuan. Setelah melewati tangga dari ban dan dibantu oleh tali tambang, akhirnya kami melihat umbul-umbul dari kejauhan, rupanya puncak sudah dekat. Wah, napas yang hampir putus tadi terbayar dengan pemandangan dari puncak bukit, oksigen yang berlimpah pun membuat paru-paru lega, dari atas puncak kita dapat melihat gugusan pulau kecil di Waduk Riam Kanan bak Raja Ampat, pantas saja Bukit Tiwingan (nama lain dari Bukit Matang Kaladan) ini dijuluki Raja Ampatnya Kalimantan Selatan.
 |
Tali tambang yang sangat membantu |
 |
Gugusan pulau kecil bak Raja Ampat |
 |
Pemandangan di sisi lain |
Beberapa spot foto juga disediakan di Puncak Matang Kaladan ini, ada rumah pohon, rumah marsupilami dan perahu lengkap dengan topi purunnya. Pada setiap spot foto ada papan yang bertuliskan tarif setiap berfoto yaitu Rp. 5.000 perorang / tempat dengan waktu maksimal 5 menit. Aku pun sempat bingung, kepada siapa membayarnya karena tidak ada siapapun berjaga di puncak, mungkin karena libur hari raya dan masih panas-panasnya jadi tidak ada penjaganya. Setelah beberapa lama kami berfoto ria, muncul motor yang membawa pengunjung, rupanya kita bisa menyewa ojek untuk naik ke Puncak Matang Kaladan, kakakku pun bergumam karena dialah yang paling penuh usaha untuk mendaki. Tapi niatnya turun dengan ojek diurungkannya karena tidak satupun kami yang mau menggunakan ojek, yang benar saja sudah lelah naik eh turunnya naik ojek, gak keren banget. Dalam waktu 30 menit saja kami sudah turun dari puncak, padahal saat mendaki lebih dari 45 menit.
 |
Spot foto yang instagramer |
 |
Rumah marsupilami bak di film kartun |
 |
Rumah pohon dengan pemandangan hijaunya |
 |
Perahu yang berlabuh di Puncak Matang Kaladan |
Selain pemandangannya yang menyegarkan mata, ada hal lain yang menjadi perhatianku. Sidiran bernada keras yang dicetak pada spanduk berukuran kira-kira satu meter persegi yang diikatkan pada dua pohon sebelum menuju spot foto, kurang lebih tulisannya seperti ini “Jangan buang sampah sembarangan, mun masih buang sampah sembarangan, sekolah 9 tahun meapa aja?” (jangan buang sampah sembarangan, kalau masih buang sampah sembarangan, sekolah selama 9 tahun ngapain aja?), tulisan ini sukses membuatku lupa dengan laparku, sidiran yang cukup pedas dalam memilih kata, kalau ada yang buang sampah lalu membaca tulisan tersebut pasti akan tertampar dan langsung mencari keberadaan sampahnya, haha. Sebenarnya masih ada beberapa lagi tulisan pedas lainnya tapi karena sibuk tertawa sampai tidak terpikirkan mengingatnya. Pengelola Puncak Matang Kaladan memang concern dengan sampah, buktinya kita dapat dengan mudahnya menemukan tempat sampah di setiap sudut.
Pada traveler yang budiman, sebentar lagi weekend, selamat merencanakan liburan dan semoga berbahagia! Jangan lupa, jangan buang sampah sembarangan!
 |
Tim hore yang jarang akur |
Komentar